Minggu, 21 April 2013

BJ Habibie di Mata Ibu Pertiwi





Prof. DR (HC). Ing. Dr. Sc. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie atau dikenal sebagai BJ Habibie. merupakan pria Pare-Pare (Sulawesi Selatan) kelahiran 25 Juni 1936. Habibie menjadi Presiden ke-3 Indonesia selama 1.4 tahun dan 2 bulan menjadi Wakil Presiden RI ke-7. Habibie merupakan “blaster” antara orang Jawa (ibunya) dengan orang Makasar/Pare-Pare (ayahnya).
Dimasa kecil, Habibie telah menunjukkan kecerdasan dan semangat tinggi pada ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya Fisika. Selama enam bulan, ia mengenyam pendidikan kuliah di Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung (ITB), dan dilanjutkan ke Rhenisch Wesfalische Tehnische Hochscule – Jerman pada 1955. Dengan dibiayai oleh ibunya,  R.A. Tuti Marini Puspowardoyo. Habibie menghabiskan 10 tahun untuk menyelesaikan studi S-1 hingga S-3 di Aachen-Jerman.
Untuk membiayai kuliah Habibie, ibunda Habibie membuka usaha catering dan indekost di Bandung sepeninggalan suaminya. Habibie menggeluti bidang Desain dan Konstruksi Pesawat di Fakultas Teknik Mesin. Selama lima tahun studi di Jerman akhirnya Habibie memperoleh gelar Dilpom-Ingenenieur atau diploma teknik (catatan : diploma teknik di Jerman umumnya disetarakan dengan gelar Master/S2 di negara lain) dengan predikat summa cum laude.
Setelah menikahi Hasri Ainun Besari pada tahun 1962, Habibie pun melanjutkan studi doctoral  nya.  Hasri Ainun ini adalah teman semasa SMA Habibie. Habibie bersama dengan istrinya tinggal di Jerman, Habibie harus bekerja untuk membiayai biaya kuliah sekaligus biaya rumah tangganya. Habibie mendalami bidang Desain dan Konstruksi Pesawat Terbang. Tahun 1965, Habibie menyelesaikan studi S-3 nya dan mendapat gelar Doktor Ingenieur (Doktor Teknik) dengan  indeks prestasi summa cum laude.
Selama menjadi mahasiswa tingkat doktoral, BJ Habibie sudah mulai bekerja untuk menghidupi keluarganya dan biaya studinya. Kemudian setelah lulus, BJ Habibie bekerja di Messerschmitt-Bölkow-Blohm  atau MBB Hamburg (1965-1969 sebagai Kepala Penelitian dan Pengembangan pada Analisis Struktrur Pesawat Terbang dan kemudian menjabat Kepala Divisi Metode dan Teknologi pada industri pesawat terbang komersial dan militer di MBB (1969-1973). Atas kinerja dan kebriliannya, 4 tahun kemudian, ia dipercaya sebagai Vice President sekaligus Direktur Teknologi di MBB periode 1973-1978 serta menjadi Penasihast Senior bidang teknologi untuk Dewan Direktur MBB (1978 ). Habibie  menjadi satu-satunya orang Asia yang berhasil menduduki jabatan nomor dua di perusahaan pesawat terbang Jerman ini.
Sebelum memasuki usia 40 tahun, karir Habibie sudah sangat cemerlang, terutama dalam desain dan konstruksi pesawat terbang. Habibie menjadi “permata” di negeri Jerman dan iapun mendapat “kedudukan terhormat”, baik secara materi maupun intelektualitas oleh orang Jerman. Selama bekerja di MBB Jerman, Habibie menyumbang berbagai hasil penelitian dan sejumlah teori untuk ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang Thermodinamika, Konstruksi dan Aerodinamika. Beberapa rumusan teorinya dikenal dalam dunia pesawat terbang seperti “Habibie Factor“, “Habibie Theorem” dan “Habibie Method“.
Hingga pada suatu hari (Alm) Presiden Soeharto mengirimkan Ibnu Sutowo ke Jerman untuk membujuk Habibie pulang ke Indonesia. Habibie pun bersedia dan melepaskan jabarannya di Jerman. Hal ini Habibie lakukan atas sdasar kecintaannya kepada tanah air. Ia ingin memberikan sumbangsih sekaligus teknologi pada bangsa. Kemudian habibie pun diangkat menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) pada tahun 1978 hingga 1997.
Selama menjadi Menristek, Habibie mengimplementasikan visinya yaitu membawa Indonesia menjadi Negara industri berteknologi tinggi. Ia ingin Negara Indonesia tidak hanya menjadi Negara agraris tetapi juga menjadi Negara industri yang maju. Namun visinya tersebut sempat mendapatkan pertentangan dari beberapa pihak. Namun Habibie memiliki keyakinan akan visinya tersebut. Hingga ia pun mengeluarkan pendapat yang cukup terkenal:
I have some figures which compare the cost of one kilo of airplane compared to one kilo of rice. One kilo of airplane costs thirty thousand US dollars and one kilo of rice is seven cents. And if you want to pay for your one kilo of high-tech products with a kilo of rice, I don’t think we have enough.” (Sumber : BBC: BJ Habibie Profile -1998.)
Tiga tahun setelah kepulangan ke Indonesia, Habibie (usia 41 tahun) mendapat gelar Profesor Teknik dari ITB. Selama 20 tahun menjadi Menristek, akhirnya pada tanggal 11 Maret 1998, Habibie terpilih sebagai Wakil Presiden RI ke-7 melalui Sidang Umum MPR. Di masa itulah krisis ekonomi (krismon) melanda kawasan Asia termasuk Indonesia. Nilai tukar rupiah terjun bebas dari Rp 2.000 per dolar AS menjadi Rp 12.000-an per dolar. Utang luar negeri  jatuh tempo sehinga membengkak akibat depresiasi rupiah. Hal ini diperbarah oleh perbankan swasta yang mengalami kesulitan likuiditas. Inflasi meroket diatas 50%, dan pengangguran mulai terjadi dimana-mana.
Setelah Habibie tidak lagi menjadi Presiden RI, ia selalu menghabiskan masa tuanya bersama istri, anak, dan cucunya. Hingga pada suatu hari, Ainun pun harus lebih dahulu pergi meninggalkan Habibie dan keluarga untuk selama-lamanya. Biarpun Ainun sudah meninggal, rasa cinta dan kasih Habibie dan Ainun pun tidak pernah berubah sedikitpun. Ia tetap mencintai Ainun seperti masa mudanya. Hingga pada tahun 2012 kisah kasih Habibie dan Ainun tersebut di tuangkan kedalam sebuah film layar lebar yang berjudul “Habibie Ainun”.
Sumber:  
 http://nusantaranews.wordpress.com/2009/04/02/biografi-bj-habibie-bapak-teknologi-dan-demokrasi-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar